annyeonghaseyo^^ Selamat Datang diblogku~ semoga bermanfaat yaa^^ terimakasih sudah berkunjung^^~

Kamis, 14 Mei 2015

Tugas Softskill : Contoh Konflik dan Penyelesaiannya

Apa itu konflik? Contoh Konflik dan penyelesaiannya.

A.   Pengertian Konflik

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik

Faktor penyebab konflik
a.    Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.
b.    Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c.    Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.
d.    Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.

B.   Contoh konflik remaja dengan orang tua dan penyelesaiannya.

Masa remaja awal adalah waktu dimana konflik remaja dengan orang tua meningkat lebih dari konflik anak dengan orang tua. Peningkatan ini bisa terjadi karena beberapa faktor yang telah dibicarakan yang melibatkan pendewasaan remaja dan pendewasaan orang tua. Perubahan biologis pubertas, perubahan kognitif termasuk meningkatnya idealisme dan penalaran logis, perubahan sosial yang berpusat pada kebebasan dan jati diri, harapan yang tak tercapai, dan perubahan fisik, kognitif dan sosial orang tua sehubungan dengan usia paruh baya.
Walaupun konflik dengan orang tua  meningkat di masa awal remaja, namun konflik ini kebanyakan konflik melibatkan kejadian sehari-hari dalam kehidupan keluarga, seperti merapikan kamar tidur, berpakaian yang rapi, pulang sebelum jam tertentu, tidak terlalu lama bicara di telpon, dan sebagainya (Santrock. 2003). Kebanyakan konflik terjadi dengan ibu dan mayoritas terjadi antara ibu dengan putrinya.
Konflik kebanyakan bermula dari kejadian sehari-hari, tetapi tetap saja, remaja dan orang tua yang terlibat dalam konflik yang berulang-ulang tanpa pernah ada kesepakatan akan menjadikan rumah serasa penjara. Orang tua mungkin dapat menekan perilaku menentang anak-anak karena secara fisik anak-anak lebih kecil dari  pada orang tua. Tetapi pada  masa remaja peningkatan ukuran dan tenaga bisa berakibat pada ketidakpedulian atau konfrontasi terhadap pendiktean orang tua.

C.   Pembahasan
1.    Emosi

Emosi merupakan salah satu aspek yang berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku manusia, bersama dengan dua aspek lainnya, yakni kognitif (cognitive) dan konatif (psikomotorik). Emosi (sering disebut afektif) merupakan penentu sikap, dan predisposisi perilaku manusia.
Emosi merupakan reaksi kompleks yang mengandung aktivitas dengan derajat yang tinggi dan adanya perubahan dalam kejasmanian serta berkaitan erat dengan perasaan yang kuat. Oleh karena itu emosi lebih intens daripada perasaan, dan sering terjadi perubahan perilaku, hubungan dengan lingkungan jadi terganggu.
Emosi digolongkan menjadi  dua yaitu:
a.     Emosi positif (emosi yang menyenangkan), yaitu emosi yang menimbulkan perasaan positif pada orang yang mengalaminya, diataranya adalah cinta, sayang, senang, gembira, kagum dan sebagainya.
b.  Emosi negatif (emosi yang tidak menyenangkan), yaitu emosi yang menimbulkan perasaan negatif pada orang yang mengalaminya, diantaranya adalah sedih, marah, benci, takut dan sebagainya.
Diantara dua kutub negatif dan positif terhadap nilai netral atau yang disebut emosi netral. Emosi positif berperan dalam memicu kesejahteraan emosional dan memfasilitasi pengaturan emosi negatif. Jika emosi seseorang positif, maka seseorang akan lebih mudah dalam mengatur emosi negatif yang tiba-tiba datang. Emosi negatif menghasilkan permasalahan yang mengganggu individu maupun masyarakat.
Secara umum emosi memiliki fungsi sebagai berikut;
·        Menimbulkan respon otomatis sebagai persiapan menghadapi krisis.
·        Menyesuaikan reaksi dengan kondisi khusus.
·        Memotivasi tindakan yang ditujukan untuk pencapaian tujuan tertentu.
·        Mengkomunikasikan sebuah niat kepada orang lain.
·        Meningkatkan ikatan sosial.
·        Mempengaruhi memori dan evaluasi suatu kejadian.
·        Meningkatkan daya ingat terhadap memori tertentu.

2.    Emosi Remaja
Pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi masa kanak-kanak, perbedaannya terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan ungkapan emosi mereka. Misalnya mereka diperlakukan sebagai anak kecil atau diperlakukan “tidak adil” akan membuat  sangat marah. Terlebih saat  mareka merasa dibanding-bandingkan dengan orang lain atau saudara. Ungkapan kemarahan pun tak meledak-ledak seperti anak-anak, melainkan dengan menggerutu, tidak mau berbicara, atau dengan suara keras mengkritik orang-orang yang menyebabkan  marah.
Remaja juga akan mudah iri pada orang lain yang mempunyai benda lebih banyak. Rangsangan iri itu seringkali membuat  merajuk pada orang tua untuk membelikan apa yang  inginkan seperti milik temannya. Misal ada beberapa temannya  sudah dibelikan sepeda motor, dengan berbagai cara  akan merajuk minta orang tua untuk membelikan. Apabila permintaan  tidak dipenuhi,  akan menunjukkan perilaku-perilaku berontak. Masalah-masalah lainnya setelah kekecewaan  akan mudah muncul yang mengakibatkan konflik dengan orang tua.
Problem emosional yang sering dialami oleh remaja biasanya dihubungkan dengan masa transisi yang mereka alami dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa transisi ini ditandai dengan perubahan secara biologi, peranan sex, dan status sosial budaya. Selama masa perubahan dan peralihan ini, remaja menghadapi kondisi baru serta berada di bawah tekanan sosial, sedangkan selama masa kanak-kanak mereka kurang mempersiapkan diri (Hurlock, 1980).
Berkembangnya fisik remaja yang begitu cepat, menyebabkan secara fisik  hampir menyamai orang dewasa. Terhadap kondisi yang demikian masyarakat mempunyai pandangan yang berbeda. Masyarakat mengharapkan  sebagai remaja memenuhi tanggung jawab orang dewasa. Pada sisi lain perkembangan fisik yang pesat tidak diiringi dengan perkembangan psikis remaja yang matang, sehingga terjadi gap yang cukup signifikan. Ketika harapan masyarakat atau lingkungan sosial telah menjadi tekanan bagi remaja, maka secara tidak langsung masyarakat telah menciptakan dogma-dogma yang absolut, pandangan yang tidak realistis atau pikiran-pikiran yang irasional. Apabila  gagal dalam memenuhi harapan masyarakat, maka hal ini akan menimbulkan konflik batin pada diri .
Salah satu karakteristik  sebagai remaja adalah emosinya labil karena sangat erat hubungannya dengan keadaan hormon. Suatu saat  bisa sedih sekali, di lain waktu  bisa marah sekali. Hal ini terlihat pada  yang baru saja putus cinta atau  yang tersinggung perasaannya karena, misalnya ; dipelototi. Kalau sedang senang-senangnya  mudah lupa diri karena tidak mampu menahan emosi yang meluap-luap itu, bahkan  akan mudah terjerumus ke dalam tindakan tidak bermoral, misalnya  yang sedang asyik pacaran lupa batas-batas yang sebenarnya belum boleh  lakukan bisa mengakibatkan hamil sebelum  menikah, bunuh diri karena putus cinta, membunuh orang karena marah, dan lain sebagainya. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri dari pada pikiran yang realistis.

3.    Penyebab Konflik Remaja Dengan Orang Tua
a.     Standar Perilaku
Remaja sering menganggap standar perilaku orang tua yang kuno dan yang modern  berbeda, dan standar perilaku orang tua yang kuno harus menyesuaikan dengan yang modern
b.     Metode Disiplin
Remaja akan memberontak apabila metode disiplin yang digunakan orang tua dianggap “tidak adil “ atau “kekanak-kanakan”.
c.     Hubungan Saudara Kandung
Remaja menganggap orang tua melakukan pilih kasih dengan saudara, sehingga perasaan membenci saudara muncul.
d.     Merasa Menjadi Korban
Remaja sering merasa benci kalau status sosial ekonomi keluarga  tidak memungkinkan mempunyai simbul-simbul status yang sama dengan yang dimiliki teman-teman, seperti pakaian, mobil, rumah dll.  tidak menyukai bila harus memikul tanggung jawab rumah tangga seperti; merawat adik-adik, atau bila orang tua tiri masuk kerumah dan mencoba “memerintah”. Hal seperti itu tidak  sukai dan hanya menambah ketegangan hubungan  dengan orang tua.
e.     Sikap Yang Sangat Kritis
Anggota keluarga tidak menyukai sikap  yang terlampau kritis terhadap diri mereka dan terhadap pola kehidupan keluarga pada umumnya
f.      Besarnya Keluarga
Dalam keluarga yang terdiri dari tiga atau empat anak lebih sering terjadi konflik dibandingkan dengan keluarga kecil
g.     Perilaku Yang Kurang Matang
Remaja membenci sikap orang tua yang sering menghukum bila  mengabaikan tugas-tugas sekolah, melalikan tanggung jawab, atau membelanjakan uang semaunya.
h.     Masalah Palang Pintu
Kehidupan sosial  sebagai remaja yang baru dan yang lebih aktif akan mengakibatkan pelangaran peraturan keluarga mengenai waktu pulang dan mengenai teman-teman dengan siapa  berhubungan.

4.    Strategi Mengurangi Konflik Remaja dengan Orang Tua
Suatu cara terbaik bagi orang tua  untuk mengatasi konflik remaja dengan orang tua adalah dengan cara pemecahan masalah secara bersama, yang tujuannya adalah untuk menemukan pemecahan masalah yang bisa memuaskan kedua belah pihak, orang tua – remaja (Santrock, 2003). Pendekatan ini bisa berjalan dengan baik jika orang tua dan remaja memusatkan perhatiannya pada masalah tersebut, ketika diskusi dibatasi hanya pada satu masalah, dan ketika remaja sebelumnya telah setuju untuk mencoba mencari pemecahan masalah bersama. Menurut Santrock (2003) pendekatan pemecahan masalah bersama terdiri dari enam tahap dasar, seperti berikut;
a.     Menetapkan aturan-aturan dasar penyelesaian konflik
Aturan-aturan ini pada dasarnya adalah aturan untuk bermain secara jujur. Kedua belah pihak orang tua dan remaja sepakat untuk memperlakukan satu sama lain dengan hormat, tidak ada hujatan, makian dan tidak merendahkan  yang lain, seperti; memperhatikan pemikiran atau pendapat orang lain. Ketika saat diskusi orang tua memberikan catatan yang positif dengan mengatakan keinginan untuk bersikap adil.
b.     Cobalah mencapai saling pengertian
Maksud dari saling pengertian disini adalah orang tua dan remaja sama-sama mendapat kesempatan mengutarakan duduk permasalahannya, dan bagaimana perasaan mereka tentang masalah itu. Dalam diskusi ini, penting sekali untuk tetap fokus pada permasalahan yang dibahas, bukan pada kepribadian.
Kita harus benar-benar mengerti karakter anak. Setiap anak memiliki kepribadiannya sendiri. Jadilah pendengar yang baik dan jangan langsung menghakiminya.
Bangunlah situasi intim antara orang tua dan anak seperti rutinitas makan pagi atau makan malam bersama sehingga dapat membicarakan masalah yang ada.
c.     Cobalah melakukan brainstorming
Orang tua dan remaja mencari jalan keluar sebanyak mungkin untuk permasalahan yang sedang dihadapi. Pada titik ini, jangan ada gagasan yang di tolak karena terlalu gila, terlalu mahal, atau terlalu bodoh. Tentukan batas waktu, misalnya 5 atau 10 menit dan hasilkanlah kemungkinan penyelesaian sebanyak mungkin.
d.     Cobalah mencapai kesepakatan mengenai satu pemecahan atau lebih
Orang tua dan remaja memilih pilihan yang paling mereka sukai. Setiap pilihan tidak boleh dibahas karena akan menghasilkan perdebatan yang berkepanjangan, dan kadang kala tidak membuahkan apapun. Pada tahap ini orang tua dan remaja bisa melihat ke mana arah minat mereka. Beberapa tarik ulur, beberapa negosiasi mungkin akan diperlukan pada tahap ini. Orang tua maupun remaja tidak seharusnya menyetujui dengan hal yang menurut mereka tidak bisa diterima.
e.     Catatlah persetujuannya
Meskipun kelihatan formal, tapi tahap ini harus dilakukan karena kadang-kadang ingatan seseorang bisa lupa. Jika suatu saat orang tua atau remaja melanggar persetujuan, catatan ini dapat dijadikan pegangan.
f.      Tentukan waktu untuk membicarakan kelanjutannya untuk memeriksa perkembangannya
Jika orang tua atau remaja tidak mematuhi persetujuan, atau jika pemecahan yang disepakati bersama tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, permasalahan tersebut harus ditinjau lagi.

5.    Sikap kita sebagai anak
Di sisi lain, sebagai anak sebaiknya kita memiliki pandangan berikut ini (berlaku juga untuk peran kita sebagai menantu):
·        Tidak ada orang tua yang sempurna. Janganlah menuntut orang tua untuk menjadi sempurna dan mengerti Anda 100%, melainkan carilah jalan keluar bersama-sama atas permasalahan yang ada.
·        Tanamkanlah sikap selalu bersyukur jika Anda masih memiliki orang tua karena tidak semua orang di dunia beruntung memiliki orang tua hingga Anda berkeluarga.
·        Jika orang tua dan anak memiliki jalan buntu terhadap permasalahan yang ada, bangunlah komunikasi yang lebih baik. Bila perlu carilah pihak ketiga sebagai penengah.
·        Setelah Anda mempunyai anak, tentu Anda menyadari bahwa kasih sayang orang tua kepada anak sangatlah luar biasa. Dalam kasus Mashandra, semoga setelah ia melahirkan bayinya ia akan lebih bersikap lunak kepada ibunya.

D.   Kesimpulan
Salah satu dimensi kepribadian manusia adalah dimensi emosional atau dimensi affektif. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu mempunyai problem dan berusaha untuk memecahkan problem yang dihadapinya tersebut. Terkadang dalam memecahkan masalahnya, mereka merasakan senang, kesulitan, kegirangan, marah, atau mungkin juga cemas tentang situasi dan perannya dalam memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindakpun manusia mungkin merasakan bersemangat, enggan, atau khawatir. Apapun situasinya manusia memiliki perasaan terhadap apa yang mereka lihat, dengar, pikirkan, dan kerjakan. Karena itu proses emosional seseorang tidak terisolasi dari fenomena, tetapi merupakan komponen pengalaman-pengalaman pada umumnya yang secara konstan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh proses-proses lain yang berlangsung pada waktu tertentu.
Kita telah melihat konsep pendidikan dan bagaimana harapan remaja dan orang tua mereka sering kali  seperti terlanggar ketika remaja berubah secara dramatis selama masa pubertas. Banyak orang tua mellihat anak-anak mereka berubah dari patuh menjadi seseorang yang tidak patuh, melawan, dan menentang standar-standar orang tua. Orang tua sering kali lebih memaksa dan menekan remaja untuk mengikuti standar orang tua.
Banyak orang tua seringkali memperlakukan remaja seperti seseorang yang harus menjadi dewasa dalam waktu 10 sampai 15 menit. Tetapi pergeseran dari masa kanak-kanak ke masa dewasa adalah salah satu perjalanan panjang melalui banyak rintangan. Remaja tidak akan menyesuaikan dengan standar orang dewasa dengan segera. Orang tua yang menyadari bahwa remaja membutuhkan waktu panjang ”untuk memperbaikinya” biasanya bertindak lebih bijaksana dan tenang dalam menghadapi pelanggaran remaja, dibandingkan dengan orang tua yang menginginkan penyesuaian segera terhadap standar orang tua. Namun orang tua lain bukannya menuntut remaja mereka untuk patuh, melainkan melakukan kebalikannya, yaitu membiarkan mereka melakukan yang diinginkan secara bebas.

E.   Referensi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar