Perjuangan cinta, mungkin begitulah anak muda hari ini menyebutnya
untuk mendapatkan pujaan hati berbagi cara dilakukan, mulai dari cara-cara
“alay” seperti tebar pesona, memberikan hadiah berupa bunga atau coklat, jadi ojek
pribadi antar jemput kemana-mana hingga cara-cara yang lebih ekstrem seperti
menggunakan pelet, Nauzbillahi minzalik.
Cinta harus bersama, dia harus didapatkan, dia harus menjadi milikku
itulah doktrin-doktrin cinta yang dipahami anak muda masa kini yang kitapun
tidak tau entah siapa yang memulainya seperti itu. Tak jarang juga pemahaman
seperti ini malah dilakukan untuk merebut hati si dia untuk jadi pacarnya (baca
: pasangan maksiat), walaupun disisi lain banyak juga yang menggunakannya untuk
memperjuangkan orang yang dicintainya agar bisa menjadi pasangan hidupnya
(menikah). Namun yang menjadi masalah adalah ketika cinta bertepuk sebelah
tangan sementara yang mencintai sudah termakan doktrin cinta yang katanya cinta
adalah perjuangan, cinta harus memiliki, cinta harus bersama dan sejenisnya
hingga ia melakukan berbagai macam cara dan upaya untuk meluluhkan hati si dia,
tentu hal ini sangat menjengkelkan serta membuat jenuh orang yang menjadi
“korban” cinta buta ini.
“Cinta harus memiliki, cinta
harus bersama”
Benarkah seperti itu Islam mengajarkan kita tentang mencintai?,
tentu jelas tidak, karena cinta dalam islam itu terkait oleh 3 hal diantaranya
adalah :
·
Menjadikan cinta dan ridho Allah sebagai dasar utamanya.
·
Selalu ingin membahagiakan orang yang dicintai.
·
Selalu ingin menjaga dan melindungi yang dicintai.
Tak ada salahnya tertarik atau mencintai seseorang akan tetapi
menjadi kekeliruan jika memaksakan untuk menikahi orang yang dicintai apalagi
jika orangnya tidak mau, untuk itulah mencintai dalam Islam memiliki orientasi
untuk membahagiakan orang yang dicintai, bisa jadi bahagia itu ketika bersama
dengannya dan bisa juga bahagia itu ketika tidak bersama dengan dirinya alias
dengan orang lain. So, mencintai tak harus memiliki dan tidak memaksa juga
untuk memiliki.
Bicara tentang cinta tak harus memiliki ada baiknya kita mengingat
kembali kisah seorang sahabat yang hijrah dari persia, kisah seorang sahabat
yang juga ahli perang beliaulah yang mengusulkan strategi menggali parit disaat
perang khandaq bersama Rasulullah SAW hingga akhirnya umat muslim meraih
kemenangan. Salman Al farisi nama sahabat Rasul ini. Suatu saat terpikirlah
olehnya hendak menikahi seorang wanita wanita anshar sebagai pendamping
hidupnya, melengkapi separoh dari dinnya.
Abu darda’ sahabatnya, Salman al farisipun menyatakan kegundahannya
ingin menikahi wanita tersebut kepada sahabatnya, meminta sahabatanya ini untuk
menjadi teman baginya disaat melamar sang wanita pujaan hati tersebut. Singkat cerita
salman dan sahabatnya Abu darda’pun mendatangi rumah wanita itu menyampaikan
niat baiknya hendak melamar.
Sesampai dirumah wanita tersebut Salman al farisi melalui sahabatnya
Abu darda’ menyampaikan niat baiknya untuk melamar wanita tersebut untuk menjadi
istrinya.
“Saya abu darda’, saya datang
kesini menemani sahabat saya salman Al farisi untuk melamar anak anda menjadi
istrinya”
ucap Abu darda’ kepada orang tua si wanita tersebut.
Suatu kehormatan bagi keluarga si wanita kedatangan dua sahabat nabi
yang utama tersebut apalagi dengan niat baik ingin mempersunting putrinya.
“Sebuah kehormatan bagi kami
menerima shabat Rasulullah yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga
kami jika memiliki menantu dari kalangan shahabat,”
ujar ayah si wanita.
Namun sang ayah tidaklah kemudian segera menerimanya. Seperti yang
diajarkan Rasulullah, ia harus bertanya pendapat putrinya mengenai lamaran
tersebut. Meski yang datang adalah seorang sahahabat Rasul, sang ayah tetap
meminta persetujuan sang putri.
“Jawaban lamaran ini merupakan
hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami,” ujarnya
kepada Abu Darda’ dan Salman AL Farisi.
Tuan rumah pun kemudian memberikan isyarat kepada istri dan putrinya
yang berada dibalik hijab. Rupanya, putrinya telah menanti memberikan
pendapatnya mengenai pria yang melamarnya. Mewakili sang putrid, ibunya pun
berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus
terang,” ujarnya membuat Salman dan Abu Darda’ tegang menanti jawaban.
“Maaf atas keterusterangan
kami. Putri kami menolak lamaran Salman,” jawab ibu si wanita tentu saja
akan menghancurkan hati Salman. Namun Salman tegar.
Tak sampai disitu, sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya,
“Namun karena kalian berdua
lah yang datang, dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri
kami akan menjawab iya jika Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama seperti
Salman,”
kata ibu si wanita shalihah idaman Salman, wanita yang Salman
inginkan untuk menjadi istrinya, wanita yang karenanya ia meminta bantuan Abu Darda’
untuk membantu pinangannya. Namun justru wanita itu memilih Abu Darda’, yang
hanya menemani Salman. Lalu apakah reaksi salam al farisi?, apakah dia kesal,
merasa menyesal karena salah membawa orang?, ternyata sama sekali tidak. Bahkan
dengan berjiwa besar Salman Al Farisi mempersilakan Abu darda’ untuk menikahi
wanita tersebut, menghadiahkan mahar dan perlengkapan yang sudah disiapkannya
untuk Abu darda’ sahabatnya dan dia menjadi saksi dari pernikahan tersebut.
Itulah sahabatku semua, begitulah sahabat Nabi mengajarkan kepada
kita tentang cinta.
“Cinta tak harus memiliki dan tidak memaksa juga untuk memiliki,
cinta tak harus bersama dan tidak memaksa juga untuk bersama ia mengambil
kesempatan atau mempersilakan”
Semoga kisah ini menjadi renungan cinta bagi kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar