Apa
itu konflik? Contoh Konflik dan penyelesaiannya.
A. Pengertian
Konflik
Konflik berasal
dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik
merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat
pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok
masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri.
Konflik
bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah
siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi.
sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik
Faktor
penyebab konflik
a.
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan
pendirian dan perasaan.
Setiap
manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan
perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan
perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor
penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak
selalu sejalan dengan kelompoknya.
b.
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga
membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang
sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan
perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c.
Perbedaan kepentingan antara individu atau
kelompok.
Manusia
memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok
memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal
yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.
d.
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak
dalam masyarakat.
Perubahan adalah
sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung
cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik
sosial.
B. Contoh
konflik remaja dengan orang tua dan penyelesaiannya.
Masa
remaja awal adalah waktu dimana konflik remaja dengan orang tua meningkat lebih
dari konflik anak dengan orang tua. Peningkatan ini bisa terjadi karena
beberapa faktor yang telah dibicarakan yang melibatkan pendewasaan remaja dan
pendewasaan orang tua. Perubahan biologis pubertas, perubahan kognitif termasuk
meningkatnya idealisme dan penalaran logis, perubahan sosial yang berpusat pada
kebebasan dan jati diri, harapan yang tak tercapai, dan perubahan fisik,
kognitif dan sosial orang tua sehubungan dengan usia paruh baya.
Walaupun
konflik dengan orang tua meningkat di masa awal remaja, namun konflik ini
kebanyakan konflik melibatkan kejadian sehari-hari dalam kehidupan keluarga,
seperti merapikan kamar tidur, berpakaian yang rapi, pulang sebelum jam
tertentu, tidak terlalu lama bicara di telpon, dan sebagainya (Santrock. 2003).
Kebanyakan konflik terjadi dengan ibu dan mayoritas terjadi antara ibu dengan
putrinya.
Konflik
kebanyakan bermula dari kejadian sehari-hari, tetapi tetap saja, remaja dan
orang tua yang terlibat dalam konflik yang berulang-ulang tanpa pernah ada
kesepakatan akan menjadikan rumah serasa penjara. Orang tua mungkin dapat
menekan perilaku menentang anak-anak karena secara fisik anak-anak lebih kecil
dari pada orang tua. Tetapi pada masa remaja peningkatan ukuran dan
tenaga bisa berakibat pada ketidakpedulian atau konfrontasi terhadap pendiktean
orang tua.
C. Pembahasan
1. Emosi
Emosi
merupakan salah satu aspek yang berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku
manusia, bersama dengan dua aspek lainnya, yakni kognitif (cognitive) dan
konatif (psikomotorik). Emosi (sering disebut afektif) merupakan penentu sikap,
dan predisposisi perilaku manusia.
Emosi
merupakan reaksi kompleks yang mengandung aktivitas dengan derajat yang tinggi
dan adanya perubahan dalam kejasmanian serta berkaitan erat dengan perasaan
yang kuat. Oleh karena itu emosi lebih intens daripada perasaan, dan sering
terjadi perubahan perilaku, hubungan dengan lingkungan jadi terganggu.
Emosi
digolongkan menjadi dua yaitu:
a. Emosi
positif (emosi yang menyenangkan), yaitu emosi yang menimbulkan perasaan
positif pada orang yang mengalaminya, diataranya adalah cinta, sayang, senang,
gembira, kagum dan sebagainya.
b. Emosi
negatif (emosi yang tidak menyenangkan), yaitu emosi yang menimbulkan perasaan
negatif pada orang yang mengalaminya, diantaranya adalah sedih, marah, benci,
takut dan sebagainya.
Diantara
dua kutub negatif dan positif terhadap nilai netral atau yang disebut emosi
netral. Emosi positif berperan dalam memicu kesejahteraan emosional dan
memfasilitasi pengaturan emosi negatif. Jika emosi seseorang positif, maka
seseorang akan lebih mudah dalam mengatur emosi negatif yang tiba-tiba datang.
Emosi negatif menghasilkan permasalahan yang mengganggu individu maupun
masyarakat.
Secara umum emosi memiliki fungsi sebagai
berikut;
·
Menimbulkan respon otomatis sebagai persiapan
menghadapi krisis.
·
Menyesuaikan reaksi dengan kondisi khusus.
·
Memotivasi tindakan yang ditujukan untuk
pencapaian tujuan tertentu.
·
Mengkomunikasikan sebuah niat kepada orang
lain.
·
Meningkatkan ikatan sosial.
·
Mempengaruhi memori dan evaluasi suatu
kejadian.
·
Meningkatkan daya ingat terhadap memori
tertentu.
2. Emosi
Remaja
Pola
emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi masa kanak-kanak, perbedaannya
terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan ungkapan emosi mereka.
Misalnya mereka diperlakukan sebagai anak kecil atau diperlakukan “tidak adil”
akan membuat sangat marah. Terlebih saat mareka merasa
dibanding-bandingkan dengan orang lain atau saudara. Ungkapan kemarahan pun tak
meledak-ledak seperti anak-anak, melainkan dengan menggerutu, tidak mau
berbicara, atau dengan suara keras mengkritik orang-orang yang
menyebabkan marah.
Remaja
juga akan mudah iri pada orang lain yang mempunyai benda lebih banyak.
Rangsangan iri itu seringkali membuat merajuk pada orang tua untuk
membelikan apa yang inginkan seperti milik temannya. Misal ada beberapa
temannya sudah dibelikan sepeda motor, dengan berbagai cara akan
merajuk minta orang tua untuk membelikan. Apabila permintaan tidak
dipenuhi, akan menunjukkan perilaku-perilaku berontak. Masalah-masalah
lainnya setelah kekecewaan akan mudah muncul yang mengakibatkan konflik
dengan orang tua.
Problem
emosional yang sering dialami oleh remaja biasanya dihubungkan dengan masa
transisi yang mereka alami dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa transisi
ini ditandai dengan perubahan secara biologi, peranan sex, dan status sosial
budaya. Selama masa perubahan dan peralihan ini, remaja menghadapi kondisi baru
serta berada di bawah tekanan sosial, sedangkan selama masa kanak-kanak mereka
kurang mempersiapkan diri (Hurlock, 1980).
Berkembangnya
fisik remaja yang begitu cepat, menyebabkan secara fisik hampir menyamai
orang dewasa. Terhadap kondisi yang demikian masyarakat mempunyai pandangan
yang berbeda. Masyarakat mengharapkan sebagai remaja memenuhi tanggung
jawab orang dewasa. Pada sisi lain perkembangan fisik yang pesat tidak diiringi
dengan perkembangan psikis remaja yang matang, sehingga terjadi gap yang cukup
signifikan. Ketika harapan masyarakat atau lingkungan sosial telah menjadi
tekanan bagi remaja, maka secara tidak langsung masyarakat telah menciptakan
dogma-dogma yang absolut, pandangan yang tidak realistis atau pikiran-pikiran
yang irasional. Apabila gagal dalam memenuhi harapan masyarakat, maka hal
ini akan menimbulkan konflik batin pada diri .
Salah
satu karakteristik sebagai remaja adalah emosinya labil karena sangat
erat hubungannya dengan keadaan hormon. Suatu saat bisa sedih sekali, di
lain waktu bisa marah sekali. Hal ini terlihat pada yang baru saja
putus cinta atau yang tersinggung perasaannya karena, misalnya ;
dipelototi. Kalau sedang senang-senangnya mudah lupa diri karena tidak
mampu menahan emosi yang meluap-luap itu, bahkan akan mudah terjerumus ke
dalam tindakan tidak bermoral, misalnya yang sedang asyik pacaran lupa
batas-batas yang sebenarnya belum boleh lakukan bisa mengakibatkan hamil
sebelum menikah, bunuh diri karena putus cinta, membunuh orang karena marah,
dan lain sebagainya. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri dari pada
pikiran yang realistis.
3. Penyebab
Konflik Remaja Dengan Orang Tua
a. Standar
Perilaku
Remaja sering menganggap
standar perilaku orang tua yang kuno dan yang modern berbeda, dan standar
perilaku orang tua yang kuno harus menyesuaikan dengan yang modern
b. Metode
Disiplin
Remaja akan memberontak
apabila metode disiplin yang digunakan orang tua dianggap “tidak adil “ atau
“kekanak-kanakan”.
c. Hubungan
Saudara Kandung
Remaja menganggap orang tua
melakukan pilih kasih dengan saudara, sehingga perasaan membenci saudara
muncul.
d. Merasa
Menjadi Korban
Remaja sering merasa benci
kalau status sosial ekonomi keluarga tidak memungkinkan mempunyai
simbul-simbul status yang sama dengan yang dimiliki teman-teman, seperti
pakaian, mobil, rumah dll. tidak menyukai bila harus memikul tanggung
jawab rumah tangga seperti; merawat adik-adik, atau bila orang tua tiri masuk
kerumah dan mencoba “memerintah”. Hal seperti itu tidak sukai dan hanya
menambah ketegangan hubungan dengan orang tua.
e. Sikap
Yang Sangat Kritis
Anggota keluarga tidak
menyukai sikap yang terlampau kritis terhadap diri mereka dan terhadap
pola kehidupan keluarga pada umumnya
f. Besarnya
Keluarga
Dalam keluarga yang terdiri
dari tiga atau empat anak lebih sering terjadi konflik dibandingkan dengan
keluarga kecil
g. Perilaku
Yang Kurang Matang
Remaja membenci sikap orang
tua yang sering menghukum bila mengabaikan tugas-tugas sekolah, melalikan
tanggung jawab, atau membelanjakan uang semaunya.
h. Masalah
Palang Pintu
Kehidupan sosial sebagai remaja yang baru dan yang
lebih aktif akan mengakibatkan pelangaran peraturan keluarga mengenai waktu
pulang dan mengenai teman-teman dengan siapa berhubungan.
4. Strategi
Mengurangi Konflik Remaja dengan Orang Tua
Suatu
cara terbaik bagi orang tua untuk mengatasi konflik remaja dengan orang
tua adalah dengan cara pemecahan masalah secara bersama, yang tujuannya adalah
untuk menemukan pemecahan masalah yang bisa memuaskan kedua belah pihak, orang
tua – remaja (Santrock, 2003). Pendekatan ini bisa berjalan dengan baik jika
orang tua dan remaja memusatkan perhatiannya pada masalah tersebut, ketika
diskusi dibatasi hanya pada satu masalah, dan ketika remaja sebelumnya telah
setuju untuk mencoba mencari pemecahan masalah bersama. Menurut Santrock (2003)
pendekatan pemecahan masalah bersama terdiri dari enam tahap dasar, seperti
berikut;
a. Menetapkan
aturan-aturan dasar penyelesaian konflik
Aturan-aturan ini pada
dasarnya adalah aturan untuk bermain secara jujur. Kedua belah pihak orang tua
dan remaja sepakat untuk memperlakukan satu sama lain dengan hormat, tidak ada
hujatan, makian dan tidak merendahkan yang lain, seperti; memperhatikan
pemikiran atau pendapat orang lain. Ketika saat diskusi orang tua memberikan
catatan yang positif dengan mengatakan keinginan untuk bersikap adil.
b. Cobalah
mencapai saling pengertian
Maksud dari saling pengertian disini
adalah orang tua dan remaja sama-sama mendapat kesempatan mengutarakan duduk
permasalahannya, dan bagaimana perasaan mereka tentang masalah itu. Dalam
diskusi ini, penting sekali untuk tetap fokus pada permasalahan yang dibahas,
bukan pada kepribadian.
Kita
harus benar-benar mengerti karakter anak. Setiap anak memiliki kepribadiannya
sendiri. Jadilah pendengar yang baik dan jangan langsung menghakiminya.
Bangunlah
situasi intim antara orang tua dan anak seperti rutinitas makan pagi atau makan
malam bersama sehingga dapat membicarakan masalah yang ada.
c. Cobalah
melakukan brainstorming
Orang tua dan remaja mencari
jalan keluar sebanyak mungkin untuk permasalahan yang sedang dihadapi. Pada
titik ini, jangan ada gagasan yang di tolak karena terlalu gila, terlalu mahal,
atau terlalu bodoh. Tentukan batas waktu, misalnya 5 atau 10 menit dan hasilkanlah
kemungkinan penyelesaian sebanyak mungkin.
d. Cobalah
mencapai kesepakatan mengenai satu pemecahan atau lebih
Orang tua dan remaja memilih
pilihan yang paling mereka sukai. Setiap pilihan tidak boleh dibahas karena
akan menghasilkan perdebatan yang berkepanjangan, dan kadang kala tidak
membuahkan apapun. Pada tahap ini orang tua dan remaja bisa melihat ke mana
arah minat mereka. Beberapa tarik ulur, beberapa negosiasi mungkin akan
diperlukan pada tahap ini. Orang tua maupun remaja tidak seharusnya menyetujui
dengan hal yang menurut mereka tidak bisa diterima.
e. Catatlah
persetujuannya
Meskipun kelihatan formal,
tapi tahap ini harus dilakukan karena kadang-kadang ingatan seseorang bisa
lupa. Jika suatu saat orang tua atau remaja melanggar persetujuan, catatan ini
dapat dijadikan pegangan.
f. Tentukan
waktu untuk membicarakan kelanjutannya untuk memeriksa perkembangannya
Jika orang tua atau remaja
tidak mematuhi persetujuan, atau jika pemecahan yang disepakati bersama tidak
berjalan sebagaimana yang diharapkan, permasalahan tersebut harus ditinjau
lagi.
5. Sikap
kita sebagai anak
Di
sisi lain, sebagai anak sebaiknya kita memiliki pandangan berikut ini (berlaku
juga untuk peran kita sebagai menantu):
·
Tidak ada orang tua yang sempurna. Janganlah
menuntut orang tua untuk menjadi sempurna dan mengerti Anda 100%, melainkan
carilah jalan keluar bersama-sama atas permasalahan yang ada.
·
Tanamkanlah sikap selalu bersyukur jika Anda
masih memiliki orang tua karena tidak semua orang di dunia beruntung memiliki
orang tua hingga Anda berkeluarga.
·
Jika orang tua dan anak memiliki jalan buntu
terhadap permasalahan yang ada, bangunlah komunikasi yang lebih baik. Bila
perlu carilah pihak ketiga sebagai penengah.
·
Setelah Anda mempunyai anak, tentu Anda
menyadari bahwa kasih sayang orang tua kepada anak sangatlah luar biasa. Dalam
kasus Mashandra, semoga setelah ia melahirkan bayinya ia akan lebih bersikap
lunak kepada ibunya.
D. Kesimpulan
Salah
satu dimensi kepribadian manusia adalah dimensi emosional atau dimensi
affektif. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu mempunyai problem dan
berusaha untuk memecahkan problem yang dihadapinya tersebut. Terkadang dalam
memecahkan masalahnya, mereka merasakan senang, kesulitan, kegirangan, marah,
atau mungkin juga cemas tentang situasi dan perannya dalam memecahkan masalah
tersebut. Dalam bertindakpun manusia mungkin merasakan bersemangat, enggan,
atau khawatir. Apapun situasinya manusia memiliki perasaan terhadap apa yang
mereka lihat, dengar, pikirkan, dan kerjakan. Karena itu proses emosional
seseorang tidak terisolasi dari fenomena, tetapi merupakan komponen
pengalaman-pengalaman pada umumnya yang secara konstan mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh proses-proses lain yang berlangsung pada waktu tertentu.
Kita
telah melihat konsep pendidikan dan bagaimana harapan remaja dan orang tua
mereka sering kali seperti terlanggar ketika remaja berubah secara
dramatis selama masa pubertas. Banyak orang tua mellihat anak-anak mereka
berubah dari patuh menjadi seseorang yang tidak patuh, melawan, dan menentang
standar-standar orang tua. Orang tua sering kali lebih memaksa dan menekan
remaja untuk mengikuti standar orang tua.
Banyak
orang tua seringkali memperlakukan remaja seperti seseorang yang harus menjadi
dewasa dalam waktu 10 sampai 15 menit. Tetapi pergeseran dari masa kanak-kanak
ke masa dewasa adalah salah satu perjalanan panjang melalui banyak rintangan.
Remaja tidak akan menyesuaikan dengan standar orang dewasa dengan segera. Orang
tua yang menyadari bahwa remaja membutuhkan waktu panjang ”untuk
memperbaikinya” biasanya bertindak lebih bijaksana dan tenang dalam menghadapi
pelanggaran remaja, dibandingkan dengan orang tua yang menginginkan penyesuaian
segera terhadap standar orang tua. Namun orang tua lain bukannya menuntut
remaja mereka untuk patuh, melainkan melakukan kebalikannya, yaitu membiarkan
mereka melakukan yang diinginkan secara bebas.
E. Referensi